Paradigma Pemimpin Idaman (12/02/2018)

Lima tahun lalu di sebuah obrolan sore dengan seorang Bupati di Sulsel, saya memperoleh dua cerita yang memiliki makna mendalam. Bukan kejadiannya yang perlu ditiru tapi makna di balik kejadian itu.

Pertama, sang bupati tidak tinggal di rumah jabatan tapi lebih memilih di rumah pribadi. Apa alasannya? Kata beliau, biar kalau berhenti atau selesai masa jabatannya tidak pusing lagi pindah rumah. Apa maknanya? Bahwa jadi Bupati itu hanya sementara, akan ada akhirnya. Artinya jabatan ini bukan milik pribadi, tapi amanah dan titipan dari rakyat. Kelak akan berhenti setelah dua periode.

Memang demikianlah hakikat sebuah jabatan, ia hanyalah titipan yang sementara, tidak akan selamanya. Seperti halnya  hidup ini juga sementara. Ada kematian yang akan memutus segalanya.

Allah menciptakan awal dan akhir, lahir dan mati yang semuanya merupakan ujian bagi manusia. Siapa yang lulus ujian ini? Ternyata bukan yang paling tua, bukan yang paling kaya, bukan yang paling berkuasa, bukan yang paling pintar. Tapi yang lulus adalah yang paling baik amalnya. Paling banyak manfaatnya.

Jadi kunci pertama yang harus dimiliki oleh pemimpin yang baik adalah kesadaran bahwa jabatan itu sementara, ada akhirnya dan itu hanyalah titipan, bukan milik pribadi. Jika waktunya tiba, ia akan berakhir. Tinggal finishnya apa berakhir dengan baik (husnul khatimah) atau berakhir dengan buruk (su’ul khatimah) seperti beberapa pejabat di negeri ini yang berakhir jadi tahanan KPK.

Cerita kedua yaitu selama menjabat beliau belum pernah membeli mobil dinas. Mobil yang dipakai sehari hari adalah mobil pribadi karena beliau memang orang yang kaya sebelum menjadi bupati.

Apa makna dari cerita ini dikaitkan dengan kepemimpinan? Ternyata memang ada dua modus kehidupan termasuk kepemimpinan yaitu modus memberi dan memiliki. Orang yang modusnya memiliki maka setelah dilantik yang pertama dipikirkan adalah apa yang dapat saya raih dari jabatan ini. Dihitungnya peluang komisi dari APBD atau setoran upeti yang dapat memperkaya diri.  Lupalah dia bahwa itu semua haram karena hasil korupsi. Tak pedulilah dia bahwa itu semua akan merugikan rakyat. Bagi dia, yang penting saya bahagia meskipun harus mengorbankan orang lain.

Berbeda dengan orang yang modusnya memberi. Setelah dilantik yang dipikirkan adalah manfaat apa yang dapat saya berikan kepada rakyat melalui jabatan ini. Apa masalah rakyat yang dapat saya selesaikan di waktu yang singkat ini. Itu semua membuatnya bekerja keras siang dan malam tak kenal lelah namun bahagia karena melihat orang lain atau rakyatnya bahagia.

Jadi kunci kedua yang harus dimiliki oleh pemimpin yang baik yaitu berparadigma memberi bukan memiliki. Apa bedanya? Paradigma memberi yaitu mencari kebahagiaan dengan cara membahagiakan orang lain. Paradigma memiliki yaitu mencari kebahagiaan dengan cara mengorbankan orang lain. Pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang bahagia karena membahagiakan orang yang dipimpinnya.

Semoga calon gubernur dan bupati serta walikota yang akan bertarung pada tahun ini memiliki dua paradigma di atas. Kesadaran bahwa jabatan itu amanah yang sementara dan berbatas waktu. Dengan waktu yang terbatas ia ingin meraih kebahagiaan dengan memberi manfaat dan perubahan bagi rakyat. Bukan mengorbankan rakyat.

 

Syamril, S.T. M.Pd

Direktur Sekolah Islam Athirah

Penulis buku 50 Jalan Kalla, Kerja, Ibadah

 


Salam
Pengurus