Jenazah dan Pengantarnya (16/01/2018)

Hari Sabtu lalu, 12 Januari 2018 Setelah sholat dhuhur berjamaah di salah satu Mesjid di samping GOR Sudiang Makassar, saya menyambangi sebuah warkop (warung kopi) lokasinya berada di sudut sebuah perempatan jalan untuk mengirim beberapa email. Beberapa saat kemudian saya memulai duduk dan menulis kalimat demi kalimat pada beberapa bahan yang akan dikirim ke alamat email yang berbeda. Tidak lama kemudian muncul sebuah  mobil jenazah yang tidak memiliki tanda atau identitas yang menandakan siapa pemiliknya yang lewat di depan warkop menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sudiang yang diantar oleh kurang lebih 30 sepeda motor dan roda empat. Para pengantar itu membunyikan suara kendaraan dengan bunyi yang sangat keras dan dengan penampakan kesan sangat brutal. Tidak lama kemudian datang lagi jenazah dan pengantarnya dimana pengantarnya lebih banyak dari pengantar sebelumnya, tetapi yang berbeda suara kendaraan mereka tidak sekeras yang pertama, menjelang lima menit datang lagi mobil jenazah milik sebuah rumah sakit swasta di Makassar dan pengantarnya jumlah jauh lebih sedikit dari yang pertama, sedangkan suara kendaraan relatif biasa saja, hanya kurang lebih 10 kendaraan yang mengantar, kemudian tiba-tiba muncul lagi  mobil jenazah ke empat dengan poster pengurus sebuah partai politik jumlahnya relatif sangat sedikit dari ketiga mobil jenazah sebelumnya yakni sekitar 10 unit sepeda motor dan roda empat.

Warga yang ada di sekitar warkop yang dilalui mobil jenazah tersebut, tidak menampakkan ekspresi apa-apa, tidak marah atau kelihatan kesal. Cuma kendaraan yang melintas di perempatan memilih berhenti sejenak membiarkan jenazah dan pengantarnya itu melewati jalan tersebut.  Termasuk warga yang berada di Warkop asyik dengan handphone atau laptopnya masing-masing. Hanya ada salah satu remaja perempuan yang mencoba untuk berdiri dan mengamati jalannya mobil jenazah tersebut. Tetapi entah apa yang memotivasinya. Setiap kali ada mobil jenazah yang lewat dia mencoba berdiri sampai mobil jenazah dan pengantarnya agak jauh dari tempat warkop dimana saya duduk. Teringat dengan cerita Suatu hari Rasulullah SAW mendapati rombongan yang mengangkut jenazah lewat di hadapan beliau. Nabi pun berdiri menghormati. Sahabat beliau segera memberi tahu dengan nada seolah protes, “Itu jenazah orang Yahudi.” “Bukankah ia juga manusia?” sahut Rasulullah.

Dalam hadits lain riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan berdiri ketika ada jenazah Yahudi, Nasrani, atau Muslim. Bukan berdiri untuk jenazah itu sendiri tapi untuk malaikat yang menyertai jenazah tersebut. Artinya, manusia tak luput dari iring-iringan malaikat, tak hanya ketika hidup tapi juga saat meninggal dunia. Ada yang berpendapat bahwa hadits perintah berdiri menghormati janazah ini mansukh sehingga status berdiri itu sekadar boleh atau dianjurkan belaka. (NUonline, 12/1/2018).

Terlepas dari itu, Rasulullah SAW menunjukkan kepada kita semua bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, bagaimanapun juga ketika ada peristiwa kematian siapapun dia, apapun agamanya maka kita dituntun untuk menghormatinya. Tetapi melihat perkembangan sebagian sikap manusia saat ini, lebih 1.000 tahun yang lalu Rasulullah SAW sudah memberi teladan bagaimana saling menghormati apakah ketika kita masih hidup atau sudah meninggal. Tetapi sense sebagian orang sudah mulai pupus, seperti tidak peka lagi peristiwa kematian tersebut yang siapapun di dunia ini yang namanya makhluk hidup, suatu saat akan mengalami kematian.

Yang ironis ketika iring-iring pembawa jenazah tersebut mempertontokan sikap yang arogan dan mengancam keselamatan dan mengganggu ketentraman orang-orang yang ada disekitar di mana mereka lewati. Dengan suara kendaraan yang seolah-olah akan memecahkan gendang telinga, dengan kecepatan yang relatif tinggi, dengan konvoi menguasai hampir satu badan jalan, padahal banyak pengendara yang lain sehingga pengendara yang bukan pengantar jenazah merasa tidak nyaman dan aman beriringan dengan pengantar jenazah. Bahkan pernah terjadi peristiwa dimana pengantar jenazah melakukan tindakan anarkis kepada  pengendara lain yang beriringan dengan mereka dengan menggunakan benda tajam yang akhirnya mengakibatkan cacat seumur hidup. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari sikap semacam itu.

Kondisi ini perlu menjadi perhatian khusus dan kesadaran bersama bagi masyarakat dan pemerintah khusunya pemerintah Kota Makassar yang memilih tagline “sombere” (ramah). Alangkah ganjilnya jika masyarakat kota masyarakat yang dikenal sombere tersebut masih mempertahankan sikap-sikap brutal meskipun saat membawa jenazah. Semoga Allah SWT memudahkan dan memberi cahaya bagi hati orang-orang  yang masih memelihara sikap-sikap brutal yang di zaman now ini, sehingga menjadi pribadi yang saleh-saleha, menghormati sesama manusia tanpa mengenal agama, suku, etnik  dan latar belakang sosial.

 

Wallahu a’lam bissawab

 

Oleh: Jumardi Lanta[1]

Ketua Pengurus Masjid Raudhatul Jannah

 

 


Salam
Pengurus